Minggu, 12 Juni 2011

UN dan segala yang menyertainya.

Baru baru ini, telinga saya terasa miris mendengar pemberitaan beberapa wali murid yang mendemo seorang wali murid yang melaporkan adanya contek massal saat UN berlangsung.
kabarnya, kepala sekolah dan beberapa guru akan di copot.

Siapa yang benar siapa yang salah?
beberapa stasiun TV menayangkan berita itu dengan judul, 'Didemo karena mengungkapkan Kebenaran'

wajar saja, jika beberapa wali murid itu berdemo, karena kelulusan anaknya masing masing terancam di copot. dan wajar saja itu semua terjadi. sebuah ke wajaran yang tidak lumrah dan ironis.

UN, dengan angka minimal kelulusan sekian. dari tahun ke tahun ternyata telah menelan banyak korban, ada siswa yang bunuh diri, stres, depresi karena tidak lulus UN, ada sekolah yang di bakar para siswanya lantaran tidak lulus UN, ada sekolah yang tutup, karena masyarakat tak lagi percaya dengan sekolah itu, karena 100% siswanya tidak lulus UN.

itu hanya segelintir kasus yang telah terjadi, dan salah satunya yang terakhir itulah yang mungkin nampaknya menjadi alasan beberapa sekolah sekolah di perkotaan, sekolah sekolah yang merasa memiliki nama besar, menghalalkan segala cara agar siswa siswanya lulus 100%.

konon, katanya ada instruksi langsung dari para petinggi dinas pendidikan, katanya semakin tinggi tingkat kelulusan maka semkin besar pula biaya pendidikan yang di anggarkan Pemerintah Pusat.

namun, tak adil rasanya jika kita hanya menyorot di satu sisi.
mari kita lihat akar dari semua yang telah terjadi.

UN, dengan segala niatan yang sangat bagus untuk menunaikan cita cita bangsa, yakni mencerdaskan anak bangsa.
sepertinya tidak di sertai dengan pemerataan fasilitas di seluruh pelosok Indonesia.
fasilitas yang dimaksud tentu saja tak sebatas fasilitas pendidikan, juga fasilitas fasilitas umum lainnya seperti transportasi, buat apa ada sekolah dengan segala fasilitas yang yahud, namun terletak di sebuah tempat yang tak terjangkau. seperti lokasi Stadion Si Jalak Harupat yang sudah berstandar Internasional, tapi akses ke sana belum lah semudah akses ke Stadion Siliwangi.

OK, sekolah sekolah di perkotaan mungkin saja bisa mencapai batas minimal kelulusan UN, tapi bagaimana dengan sekolah sekolah di pelosok?
lagi lagi salah satu aspek penyebabnya ialah belum meratanya fasilitas.

daripada membangun gedung DPR yang baru, mending uangnya buat meratakan pembangunan Fasilitas pendidikan di negeri ini.
jika memang gedung DPR sudah tak layak, lebih baik tutup saja perusahaan perusahaan asing yang menyedot harta alam Indonesia. seperti PT. Fr**port di Papua sana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar